Langit memang tak
selalu cerah... Mentari tak selalu berikan sambutan yang ramah... Begitupun
senyummu yang tak selalu tergambar merekah.
Dingin... Dingin
membeku merasuk ke dalam gumpalan daging. Rasanya tubuh ini ikut terbujur kaku
menikmati setiap rona tetesan air hujan.
Bagai bungkusan kain yang terbasahi, meresap perlahan membawa kegetiran.
Awalnya tak ada
sesuatu yang kurasa. Semua berjalan biasa dan nampak apa adanya. Setiap
kejadian yang aku jumpai di pagi hari bak rutinitas yang selalu aku alami.
Belalang berasap berlalu lalang memenuhi setiap centi jalanan Jogja. Ya...
inilah suasana kota perantauanku yang semakin hari semakin penuh sesak
terhimpit oleh segala rutinitas.
Namun semua
berlalu begitu cepat, tak pernah kukira langit yang biru tiba-tiba berubah
menjadi sendu. Sore itu hujan datang begitu deras. Matahari yang menari-manari
terpaksa harus segera menarik diri. Akupun yang awalnya ingin merasakan
kesejukan sejenak terhenti di tengah jalan untuk sekedar mengenakan jas hujan. Semangatku belum surut, dengan jas hujan
sebagai tamengku, aku sangat percaya diri bertarung di jalanan melawan guyuran
air hujan. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku telah dikalahkan oleh hujan.
Jas ini telah
meninggalkan luka di setiap sudutnya (read: robek). Jelas dia sudah tak mampu
lagi menahan gempuran air hujan. Jas hujan yang selama ini aku bangga-banggakan
ternyata sudah lama aku lupakan. Tanpa sadar aku sendirilah tersangka tunggal
yang telah menggoreskan sayatan luka itu. Raganya memang tidak berubah, tetapi hatinya
sudah tak ada lagi disini. Hati yang dulu dengan setia menjagaku dari air
hujan, kini telah pergi menyisakan goresan kenangan.
Kini aku hanya bisa
berusaha untuk menambal setiap goresan luka itu, agar hatinya yang telah beranjak
pergi dapat kembali menyatu dengan raganya.
Terinspirasi oleh :
Terinspirasi oleh :
Komentar
Posting Komentar